Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada kita berbagai macam nikmat dan karunia. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan panutan umat manusia untuk menemukan kebenaran dan menggapai kebahagiaan. Semoga Allah ta’ala menjadikan hidup kita berbarakah dan mendatangkan manfaat bagi diri kita dan umat manusia.
Saudara-saudaraku sekalian -semoga Allah menjaga kita- merupakan sebuah sunnatullah pada makhluk-Nya perjuangan untuk menggapai kemuliaan sarat diliputi dengan berbagai rintangan dan hambatan. Sejarah telah mencatat perjuangan para nabi dan rasul di tengah-tengah kaumnya dengan berbagai macam cobaan dan tekanan yang harus mereka alami. Tidak hanya dari orang yang jauh bahkan dari orang-orang yang dekat pun reaksi dan tanggapan negatif muncul untuk menghambat laju gerakan dakwah Islam.
Ingatlah bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berjuang keras menegakkan dakwahnya di tengah-tengah kaumnya yang begitu kental dengan pembangkangan. Demikian pula Nabi Musa ‘alaihis salam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nabi-nabi yang lain. Mereka semua berjuang keras untuk memperbaiki aqidah umat sebelum yang lainnya. Mereka disakiti dan dicemooh oleh musuh-musuhnya, itu hal yang biasa. Maka demikian pula keadaan para penerus dakwah mereka yang hidup di sepanjang masa, dari sejak jaman sabahat hingga hari ini, para pembela kebenaran senantiasa di hadapkan dengan para pencela dan penentang dakwah yang haq.
Saudaraku -semoga Allah menambahkan ilmu kepada kita- sesungguhnya perjuangan dakwah Islam yang diemban oleh para ulama dan penimba ilmu di sepanjang masa merupakan anugerah besar yang seharusnya kita syukuri. Bagaimana tidak, sedangkan melalui lisan dan tangan-tangan mereka lah umat manusia mengenal Rabb mereka, mengenal Nabi-Nya dan mengenal ajaran-ajaran agama-Nya. Namun, perkara yang amat disayangkan ketika kita saksikan banyak di antara umat manusia justru memberikan balasan yang buruk kepada para da’i dan pejuang kebenaran. Mereka dimusuhi, diejek, dijatuhkan kehormatannya, bahkan ada di antara mereka yang harus dipenjarakan bahkan dilenyapkan dari muka bumi gara-gara menyelisihi hawa nafsu dan kebatilan yang mereka yakini.
Ingatlah bagaimana penderitaan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dilempari batu oleh penduduk Tha’if hingga meneteskan darah. Ingatlah bagaimana penderitaan Amar bin Yasir radhiyallahu’anhu beserta keluarganya. Ingatlah bagaimana derita seorang budak beriman yang berkulit hitam bernama Bilal bin Rabah -semoga Allah meridhainya dan saya pun ridha kepadanya- di bawah tindihan batu di atas teriknya padang pasir yang menyengat. Ingatlah bagaimana siksaan yang dialami oleh Imam Ahmad rahimahullah akibat mempertahankan aqidah al-Qur’an adalah Kalamullah. Ingatlah bagaimana cercaan dan tindak kekerasan dari musuh yang dialami oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, seorang mujahid yang berjihad dengan lisan, pena, dan jiwa raganya. Semua itu telah dicatat dalam sejarah umat Islam.
Dan hendaknya kita dapat mengambil pelajaran dari semua kejadian tersebut bahwasanya kebenaran akan senantiasa menghadapi musuh yang tidak akan jemu memeranginya yaitu para pengusung kebatilan dengan beragam corak dan warnanya. Selain itu, hendaknya kita pun menyadari bahwa kebutuhan kaum muslimin kepada ulama mereka adalah kebutuhan yang sangat besar. Lebih daripada kebutuhan mereka kepada para dokter dan pakar kesehatan! Oleh sebab itu jangan sampai kita termasuk golongan orang yang tidak mengenal jasa para ulama atau justru menjatuhkan kehormatan mereka di mata manusia. Sebab mereka adalah pewaris nabi-nabi, komandan perjalanan hidup umat manusia.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah akan mengangkat derajat beberapa tingkatan bagi orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah : 11). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir : 29). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertanyalah kepada orang yang memiliki ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kaum dengan Kitab (al-Qur’an) ini dan Allah juga akan merendahkan sebagian mereka dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam urusan agama.” (HR. Bukhari dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu).
Dengan mencermati dalil-dalil di atas akan jelaslah bagi kita bahwa itu semua menunjukkan kepada kita tentang agungnya kedudukan para ulama di dalam agama kita. Ulama dalam pengertian yang sejati yaitu yang memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang murni dari segala macam kotoran keyakinan dan penyimpangan amalan adalah sosok panutan yang harus kita teladani. Hasan al-Bashri rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat menceritakan bahwasanya para ulama salaf dahulu apabila selesai mempelajari suatu ilmu maka tidak lama kemudian bekas ilmu itu pun tampak dalam shalatnya, kekhusyu’annya, akhlak dan perilakunya. Disebutkan pula oleh Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu tetap dinilai jahil/bodoh selama dia belum mengamalkan ilmunya. Kemudian apabila dia telah mengamalkan ilmu tersebut barulah dia benar-benar menjadi orang yang alim.” Suatu ketika Abdullah anak dari Imam Ahmad betanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku, apakah Ma’ruf al-Kurkhi adalah orang yang berilmu?”. Maka Imam Ahmad -Imam Ahlus Sunnah- mengatakan, “Bahkan dia adalah pemilik pokok dari ilmu yaitu rasa takut kepada Allah.” Demikianlah keadaan para ulama salaf, mereka menjadikan ilmu sebagai panglima dalam beramal dan mengarungi bahtera kehidupan. Mereka hidup di atas ilmu dan meninggal di atas ilmu pula. Maka sangat masyhur di antara kaum muslimin perkataan Imam Ahmad ketika ditanya, “Kapankah seseorang bisa merasakan nikmatnya beristirahat dan bersantai-santai?”. Maka beliau menjawab, “Yaitu ketika pertama kali dia meletakkan kedua telapak kakinya di surga.”
Sungguh indah hidup para ulama, mereka beramal dengan ilmunya, mereka mendakwahkannya dan bersabar menghadapi segala hambatan yang mereka jumpai di jalan kebenaran. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. al-‘Ashr : 1-3).
Cobaan hidup merupakan batu ujian yang akan membedakan siapakah hamba yang jujur dan tulus dan siapakah orang-orang yang beribadah di tepian yang hatinya dipenuhi dengan keraguan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim, apakah manusia itu mengira mereka akan ditinggalkan begitu saja mengucapkan ‘Kami telah beriman, kemudian tanpa ada ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui siapakah di antara mereka yang jujur dan siapakah yang dusta.” (QS. al-Ankabut : 1-3). Fitnah atau ujian pasti menimpa kita. Bahkan hakikat kehidupan kita di dalam dunia ini adalah ujian dari-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya, “Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk : 2).
Para ulama -semoga Allah merahmati mereka- telah memiliki jasa yang sangat besar bagi umat manusia. Berbagai macam fitnah dan cobaan telah mereka paparkan solusinya. Ketika umat manusia dibuat kelimpungan oleh berbagai bujukan hawa nafsu dan rayuan syahwat yang menggelora, maka para ulama hadir dengan siraman dalil-dalil wahyu al-Kitab dan as-Sunnah yang akan menentramkan hati para pemuda. Ketika umat manusia dibuat pusing tujuh keliling oleh berbagai macam kerancuan berpikir yang dihembuskan oleh aliran-aliran menyimpang dan meresahkan, maka para ulama hadir dengan argumentasi-argumentasi ilmiah yang meluluhlantakkan syubhat ahli kebatilan. Begitulah ciri ulama dan buah dari dakwah mereka. Hanya dengan taufik dari Allah lah mereka dapat menunjuki dan menuntun umat manusia menuju keridhaan-Nya.
Oleh sebab itu, sebuah renungan bagi kita bersama yang selayaknya kita hayati dalam-dalam; ketika perkembangan teknologi sudah demikian maju dan menembus sekat ruang dan waktu dan seiring dengan itu pula berbagai sampah pemikiran dan racun kemaksiatan dimuntahkan di dunia maya, maka tidak selayaknya kita termasuk orang-orang yang meramaikan dunia maya ini dengan semakin banyak kerancuan, kebodohan dan penyimpangan. Sudah selayaknya kita menggunakan fasilitas ini untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menimba ilmu dari para ulama melalui karya-karya atau ceramah-ceramah mereka. Kalau pun ternyata karya atau ceramah para ulama itu ternyata berbahasa Arab, maka apa susahnya kita berupaya untuk mendalami bahasanya yaitu Bahasa Arab? Bukankah selama ini di sekolah-sekolah kita telah bergumul dengan bahasa Inggris sekian lama, padahal itu bukan bahasa kita sehari-hari? Bukankah dengan mengerti bahasa Inggris itu kita dapat merasakan kemudahan-kemudahan dalam urusan dunia? Lantas apa yang menghalangi kita untuk belajar bahasa Arab, padahal kita semua tahu Kitab suci kita berbahasa Arab, sholat yang kita lakukan sehari-hari juga terdiri dari bacaan dan doa yang bebahasa Arab, kitab-kitab para ulama pun ditulis dengan bahasa Arab? Di manakah letak penghargaan kita kepada bahasa yang mulia ini? Bukankah dengan memahami bahasa Arab kita akan menemukan jalan untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah yang itu merupakan pedoman hidup kita? Bukankah dengan memahami bahasa Arab seorang muslim tidak akan lagi taklid melulu kepada para ulama sehingga dia akan benar-benar bisa beribadah kepada Allah di atas ilmu dan keterangan yang nyata baginya?
Ketahuilah wahai saudaraku, para ulama tidak menginginkan kita seperti beo yang selalu mengikuti semua ucapan mereka. Yang mereka inginkan adalah agar kita menjadi orang yang paham akan ajaran agamanya. Mereka ingin agar kita kembali kepada dalil. Tidakkah kita ingat ucapan salah satu di antara mereka, “Apabila kamu temukan di dalam Kitabku sesuatu yang bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka tinggalkanlah pendapatku dan ambillah apa yang terdapat di dalam al-Kitab dan as-Sunnah.” Padahal kita juga tahu bahwa para ulama adalah manusia, mereka pun bisa tergelincir dalam kesalahan tanpa sengaja. Maka kewajiban kita adalah mengikuti kebenaran, tanpa sedikit pun meremehkan sebagian ulama. Untuk itulah perjuangan para ulama harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya, orang-orang terpercaya yang mengemban ilmu agama dengan keadilan dan kesalihan. Tidak akan baik umat ini kecuali dengan sesuatu yang membuat baik generasi awalnya, demikian ungkap Imam Malik rahimahullah.
Kejayaan di masa salaf adalah kejayaan yang dibangun di atas keikhlasan dan ilmu, bukan di atas kemunafikan dan kejahilan. Kejayaan mereka adalah kejayaan yang dipandu oleh para ulama, itu artinya kita membutuhkan sosok ulama dan itu juga bermakna kita harus mendukung dakwah mereka dan menasehati mereka -dengan cara yang baik- demi kebaikan kita bersama. Oleh sebab itu setiap kita hendaknya menyadari kedudukan dan kadar kita masing-masing.
Seorang Ustadz -yang saya cintai karena Allah- memberikan sebuah nasehat kepada saya suatu saat beberapa tahun yang silam, ‘rahimahullahumra’an ya’rifu qadra nafsihi’ (semoga Allah merahmati orang yang menyadari kapasitas dirinya). Benarlah apa yang beliau katakan! Ketika kita menyadari bahwa kita ini jahil maka tak selayaknya -dan memang tidak boleh- kita merasa sombong dan sok tidak membutuhkan para ulama. Mungkin dengan lisan kita tidak mengucapkannya, namun lisanul hal -perilaku dan keadaan kita- bisa jadi menunjukkan sikap itu.
Dengan ilmu yang pas-pasan seorang berbicara seenak perutnya, mengumbar kata-kata di dunia maya tanpa ada seorang pun yang menghalangi dirinya memuntahkan semua isi otaknya, namun beberapa lama kemudian dia menyadari bahwa apa yang dahulu dia lontarkan ternyata tidak lebih daripada kejahilan dan kesalahpahaman yang disebarluaskan. Aduhai, alangkah malang jika kita hidup pada jaman semacam itu -dan ternyata sekarang kita hidup di jaman itu, wallahul musta’aan- ketika orang-orang bebas melontarkan ucapan tanpa berpikir panjang dan mengatur ungkapan supaya lebih sopan dan bijak sesuai keperluan, maka alangkah buruknya kita apabila kita termasuk golongan yang meramaikan dunia maya ini dengan kesia-siaan, kedustaan, kemaksiatan, apalagi mencela para ulama dan mencabik-cabik ajaran agama yang sudah sempurna.Ingatlah, bahwa malaikat mencatat perbuatan kita.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya; sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’ : 36). Siapkah anda ketika Allah mempertanyakan kepada anda tentang caci maki, tudingan tanpa bukti, fitnah, dan cemoohan yang selama ini anda terbitkan dan alamatkan kepada para ulama dan dakwah yang mereka bawa? Wahai saudaraku, pikirkanlah dahulu apa yang hendak engkau tulis dan engkau sebarkan; jangan sampai semakin banyak tulisan dan artikel yang kita terbitkan justru menjadi hujjah untuk menjatuhkan hukuman bagi kita di akhirat kelak; pada hari di mana tak lagi berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat dari syirik dan dosa, dari kotoran bid’ah dan limbah kemaksiatan.
Semoga Allah mengetuk hatimu dan membangkitkan kesadaranmu, masih banyak tugas besar yang harus dikerjakan oleh umat ini dan aku berharap kamu adalah salah satu penggerak dakwah tauhid ini; kerjakanlah apa yang bermanfaat untukmu! Semoga Allah mempertemukan kita di akhirat di bawah naungan Arsy-Nya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, 28 Muharram 1430 H